Selamat Datang di Blogger "SASTRALISAN" Semoga Bermanfaat

Senin, 12 November 2012

MELIRIK KEHIDUPAN PEMULUNG SAMPAH




BTN Lacinta, demikian nama sebuha komplek perumahan warga yang terletak bilangan Lepolepo Kota Kendari. Kehidupan warga kompleks ini tergolong heterogen. Mata pencahariannya pun berbeda-beda. Mulai dari tukang ojek, pedagang, petani, pegawai negeri maupun swasta. Rumah-rumah warga pun cukup beragam mulai dari rumah sederhana sampai rumah mewah berlantai dua. 
Ditengah-tengah kehidupan warga kompleks ini, ada satu hal yang menarik. Yakni seorang perempuan tua yang berjalan sedikit bungkuk. Setiap pagi, sambil membawa karung dan alat pengais yang terbuat dari sepotong beri yang ujung sedikit bengkok dan terlihat runcing ia berjalan menyelusuri lorong-lorong komplek perumahan. “Mboh”  demikian panggilan warga pada perempuan tua itu. Ibu tua itu merupakan pemulung sampah yang setiap pag beroperasi di komplek perumahan ini. 
Setiap pagi Mboh ini megumpulkan barang-barang bekas. Mulai dari gelas plastik minuman kemasan, kaleng plastic, aluminium, gardus, kursi plastik hingga barang-barang elektronik yang telah dibuang oleh warga kompleks. Semua barang-barang tersebut ia kumpulkan lalu dimasukan ke dalam karung yang ukurannya lebih besar dari badannya.
“Iya nah” jawabnya saat di sapa ketika Mboh istrahat di bawah pohon bunga di halaman mesjid kompleks perumahan (selasa, 31/7). Sunarti, demikian nama lengkap Mboh ini. Suaminya berinisial Sutrisno. Mereka berasal dari pulau Jawa tepatnya di Kediri. Sebelum tinggal di Kendari, suaminya (Sutrisno) pernah bekerja di pabrik kertas di Kalimantan, kerja di pabrik rokok Dji sam soe, terakhir bekerja di pabrik rokok Gudang Garam Kediri sebelum hijrah di Sultra. 
Karena keinginan untuk mengubah hidup, tepatnya 23 tahun lalu Sunarti bersama suami dan tiga orang anaknya mengikuti program transmingrasi di Sultra tepatnya di pulau Wawonii. Tapi nasib berkata lain, di daerah trans itu mereka tidak berhasil dan akhirnya mereka hengkang di Kendari. Kini tinggal di sebidang kebun tanah milik orang di sekitar komplek Asrama Haji Lepo-Lepo.
Saat ditanya mengapa ia jadi pemulung, dengan tenang menjawab “bahwa ia tidak ingin tergantung pada orang lain walaupun sama anak kandung sendiri” terang ibu dari tujuh orang anak ini. Mboh ini tergolong wanita yang kuat. Meski usianya kini 74 tahun, ia masih kuat menjinjing karung barang-barang bekas walaupun berjalan sedikit membungkuk. “Tidak terlalu banyak nah hasil penjualannya,  biasanya Cuma Rp 300.000 perbulanya. Tapi Mboh sudah sangat bersyukur dapat membiayai kehidupan sehari-hari” katanya. 
Meskipun menjalani profesinya sebagai pemulung barang bekas ibu yang berambut ikal ini tetap ramah dan baik. Tak heran jika semua warga komplek mengenalnya. Tidak hanya itu, di tempat tinggalnya pun mereka juga rela membagikan aliran listrik pada tetanga di sekitarnya dengan membayar Rp 20.000 perbulannya. 
walaupun menggantungakan kehidupannya dari hasil penjualan  barang-barang bekas, namum mereka cukup berhasil. Hal ini terlihat mereka mampu membelikan salah seorang anaknya sepeda motor tander. Begitu juga mereka mudah mendapat pasokan listrik karena salah seorang anaknya bekerja di PLN cabang kendari. 
Jadi pemulung bukan berarti tak ada tantangannya. Ada saja cobaannya. “Jadi pemulung itu tidak enak, nah. Suatu hari saya pernah dibentak salah seorang warga saat hendak memunggut gelas plastik di depan rumahnya. Padahal gelas itu ada di pinggir jalan. Pernah juga ada orang yang meludah di depanku saat bertemu denganku” cerita ibu yang berkulit hitam ini. 
 “Jangan menjadi orang yang sombong walaupun jadi orang kaya. Jangan meminta-minta pada orang lain” pesannya.  (La Hamadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar